Menulis Sejarah Pesantren Melalui Artefaknya: Apakah Setono Hilang Setelah Munculnya Tegalsari?

Masjid Setono. Sumber: Claude Guillot, 1985 (Bagian kedua dari dua bagian) Paweling.Com - Berbicara tentang sejarah Pesantren Tegalsari kur...

Masjid Setono. Sumber: Claude Guillot, 1985
(Bagian kedua dari dua bagian)

Paweling.Com- Berbicara tentang sejarah Pesantren Tegalsari kurang afdal rasanya jika belum menyebutkan Pesantren Setono. Dalam banyak tulisan tentang Tegalsari, Setono kerap diceritakan sebagai pesantren pendahulunya. Salah satu pengasuhnya pada awal abad ke-18 yang bernama Kiai Donopuro terkenal kealiman dan keluasan ilmu agamanya. Kondisi tersebut mendorong tiga bersaudara–Khatib Anom, Muhammad Besari, dan Nur Shadiq–untuk nyantri kepadanya.

Khatib Anom kemudian berkhidmah di Kalangbret, Tulungagung di mana saudara-saudaranya telah menetap di sana, sedangkan Muhammad Besari dan Nur Shadiq mendirikan pesantrennya di sebelah timur dari pesantren kiainya yang kelak dikenal dengan Pesantren Tegalsari. Sejak berdirinya pesantren baru tersebut konon santri Setono berangsur-angsur pindah ke Tegalsari, bahkan namanya sangat jarang dijumpai. Lalu, apakah benar Setono benar-benar ditinggalkan setelah Tegalsari berdiri?

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang mencoba untuk membaca kembali sejarah Pesantren Tegalsari. Diharapkan melalui data artefaktual yang belum banyak atau bahkan belum dibaca sama sekali, historiografi Tegalsari dan Setono tentunya dapat ditulis dengan lebih dinamis sekaligus memperkaya narasi yang telah ada.

Dari toponiminya, Setono–berasal dari kata astana–merujuk pada suatu tempat pemakaman dari tokoh penting. Dalam konteks ini, tokoh yang dimaksud adalah Pangeran Sumende. Beliau dikisahkan sebagai putra dan pada versi lain sebagai cicit dari Sunan Pandanaran, Klaten. Beliau dipercaya sebagai satu di antara tokoh yang melakukan dakwah Islam di daerah selatan Ponorogo. Lalu, setelah wafatnya daerah tempatnya dimakamkan dikenal dengan Setono dan dianugerahi status desa perdikan.

Seperti telah disebutkan, Kiai Donopuro merupakan zuriah Pangeran Sumende yang membawa kejayaan sekaligus arah baru pesantren tersebut. Sebab pada eranya pesantren tersebut dikenal luas oleh masyarakat dan kemudian sepeninggalnya para santrinya diceritakan banyak yang berpindah nyantri ke Tegalsari, sekilas memiliki kemiripan dengan kisah Kiai Muhammad Kholil, Bangkalan.

Hal itu terjadi sebab “pulung kaprabon” setelah Kiai Donopuro konon jatuh kepada Kiai Ageng Muhammad Besari. Setono digantikan (baca: dilanjutkan) perannya sebagai pesantren oleh Tegalsari, bahkan kemudian wilayahnya digabungkan dengan Tegalsari meskipun statusnya perdikannya tetap diakui bersama-sama dengan Tegalsari. 

Jika kita telah membaca banyak tulisan tentang sejarah Tegalsari, bisa diakui bahwa sumber sejarah yang menceritakan Setono sangat sedikit jumlahnya, khususnya pada paruh kedua abad ke-18 hingga seabad berikutnya. Bahkan, tradisi lisan yang biasanya menjadi referensi saat sumber tertulis belum ditemukan juga tidak banyak bercerita pada masa-masa tersebut sehingga pada beberapa tulisan kita dapat menjumpai narasi bahwa Setono seolah tenggelam sejarahnya.

Meskipun demikian, ada sedikit data yang menunjukkan eksistensi Setono pada awal abad ke-20. Hal itu ditunjukkan dengan inskripsi pada tiga lembar papan kayu yang sebelum renovasi total masjid pada tahun 2020 dapat dijumpai pada blandar soko gurunya. Kini, ketiganya dipasang di atas pintu masuk masjid sehingga setiap pengunjuk lebih mudah untuk melihatnya.

Ketiga inskripsi tersebut ditulis menggunakan aksara Pegon serta bahasa campuran antara Arab dan Jawa. Dari tiga inskripsi tersebut, kita dapat membaginya menjadi dua bagian berdasarkan tahun pembuatannya dan isi yang dikandungnya.

Inskripsi tentang renovasi masjid. Dok: Munir
Pertama, inskripsi ini menceritakan tentang pembuatan ribath Masjid Setono. Ribat sendiri merujuk pada bangunan yang digunakan untuk ibadah atau pendidikan Islam, semacam gedung madrasah dalam sudut pandang sekarang. Inskripsi tersebut menjadi peresmian ribath pada Kamis Kliwon, 7 Muharam tahun Jimakir 1338 Hijriah atau 2 Oktober 1919 Masehi.

Inskripsi menyebutkan pula tokoh pemrakarsanya, yaitu Boyadi dan Hasan Marawi beserta para penduduk Setono, serta ada pula nama Muhammad Jailani dan Abu Khair sebagai tokoh yang mendukungnya. Nama Muhammad Jailani kemungkinan besar merujuk pada salah seorang kiai di Pesantren Tegalsari yang juga merupakan wakil rais Nahdlatul Ulama Ponorogo pada saat pendiriannya tahun 1930.

Kedua, inskripsi yang menceritakan tentang peninggian bangunan utama masjid dan pembuatan dinding bata di Masjid Setono. Dua inskripsi tersebut dikeluarkan pada Sabtu Legi, 1 Muharam tahun Dal 1343 Hijriah atau 12 Agustus 1924 Masehi. Salah satu inskripsi menyebutkan pemrakarsanya, yaitu Hasan Mawari dan Hasan Boyadi serta masyarakat Setono, serta dituliskan pula Kiai Jasari.

Tokoh terakhir yang disebut sangat mungkin merujuk sebagai Kiai Muhammad Mansyur yang merupakan kiai di Pesantren Josari dan juga merupakan rais syuriah Nahdlatul Ulama Ponorogo. Di samping itu, inskripsi lainnya menyebutkan hal yang serupa dan disertai nama para pejabat pemerintahan Setono yang terlibat dalam proses tersebut beserta para tukangnya.

Dari kedua inskripsi tersebut, kita dapat mengetahui bahwa Setono masih eksis sebagai sebuah daerah dan memiliki pranata sosial yang mendukung kehidupan bermasyarakat. Selain itu, ada kemungkinan pendidikan Islam masih hidup di Setono yang dibuktikan dengan pembangunan ribat meskipun kini tidak diketahui lagi bangunan yang dimaksud, apakah masih ada atau digantikan bangunan baru.

Penyebutan tokoh dari daerah lain, Kiai Jailani dan Kiai Mansyur, juga mengindikasikan hubungan Setono dengan daerah di sekitarnya. Tegalsari tentu memiliki hubungan yang erat dengan Setono, sedangkan Josari pada periode tersebut dipimpin oleh kiai yang sangat kharismatik. Oleh sebab itu, penyebutan itu mengindikasikan adanya restu dan dukungan dari para kiai lain di sekitar Setono dalam kedua pembangunan di Setono yang dilakukan pada tahun 1919 dan tahun 1924.

Apakah pembacaan ketiga inskripsi hanya berhenti di situ? Tentu tidak, masih ada berbagai aspek lain yang dapat “dibaca” untuk melihat lebih dalam kesejarahan Setono. Ada pula inskripsi beraksara dan berbahasa Jawa pada sebuah cungkup di kompleks makam Setono yang belum banyak dibahas, terlebih keterkaitannya tokoh tersebut dengan Setono.

Sebagai penutup, penulisan sejarah pesantren, khususnya Pesantren Tegalsari, masih terbuka lebar untuk dilakukan. Diharapkan penulisan sejarah dapat dilakukan dengan mengkritisi penelitian sebelumnya, memberikan perspektif baru dari sumber lama, ataupun menarasikan sumber baru sehingga tulisan sejarah tidak sekadar romantisme masa lalu, tetapi juga dapat “hidup” secara dinamis dan membawa ibrah bagi pembacanya.

Penulis: Fuad Faizin

Referensi

Fokkens, F. (1877). “De Prieterschool te Tegalsari.” TBG, vol. 24, hlm. 318-336.

Guillot, Claude. (1985). “Le Role Historique des Perdikan ou Villages Francs: Le Cas de Tegalsari.” Archipel, vol. 30, hlm. 137-162.

Multazam, Dawam. (2016). Dinamika Tegalsari: Santri dan Keturunan Pesantren Tegalsari Ponorogo Abad XIX–XX. Jakarta: Pustaka STAINU Jakarta.

Poernomo, Moh. (1987). Sejarah Kyai Ageng Mohammad Besari Tegalsari Jetis Ponorogo. Jakarta: HUS Danu Subroto.

Purwowijoyo. (1985) Babad Ponorogo Jilid V: Desa Perdikan. Ponorogo: Dinas Pariwisata dan Seni Budaya Kabupaten Ponorogo.

Related

utama 5633322957275569851

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item