Mengungkap Jejak Kolonial di Kotabaru Sisi Timur, Mulai Bangunan hingga Kisah di Baliknya

 

Rumah dinas wakil Jenderal Sudirman, Urip Sumoharjo. (Foto doc. Arini Sa'adah)

Dahaga akan sejarah tak pernah terpuaskan. Bekas-bekas peninggalan sejarah yang kukunjungi hanya membuatku semakin kehausan. Kuraba-raba wilayah yang kini jadi domisili tempat tinggalku, untuk mengungkap sedikit demi sedikit kisah-kisah unik di baliknya. Karena aku yakin, setiap tempat dan benda menyimpan cerita yang akan mereka ungkapkan dengan sendirinya.

Sore itu (18/06/2023), aku mengikuti jalan-jalan sore sambil belajar sejarah bareng komunitas Jogja Walking Tour. Meski cuaca sedikit mendung, kuputuskan bangun dari tempat tidur dan bergegas menuju lokasi. Dengan kecepatan penuh, aku datang tepat waktu di lokasi. Kita berkumpul di halaman Kantor Perpustakaan dan Arsip Kotamadya Yogyakarta. Tak lama kemudian, pemandu tour andalan kami, Mas Erwin, mengajak para peserta berkumpul di halaman Perpustakaan Kota Jogja itu tepat pukul 16.00 WIB. Ya, kami akan mengungkap sedikit jejak kolonial di Kotabaru sisi timur.

Kotabaru, nama wilayah di Jogja yang sudah tak asing di telingaku. Akan tetapi, sebagai pendatang sebenarnya aku masih meraba-raba untuk menghafalkan seluk beluk wilayah daerah istimewa ini, termasuk Kotabaru.

Nama Kotabaru pertama kali kudengar ketika ada geger gedhen antara ojek online dan salah satu perusahaan waralaba kuliner di Kotabaru. Itu lho, warung mie yang terpaksa harus ganti nama menunya karena terancam tak mendapat sertifikasi halal dari MUI. Ya, MUI tak bisa memberikan sertifikasi halal ke produknya karena nama menunya diambil dari nama-nama setan, seperti es tuyul, es gendruwo, mie iblis dan lain sebagainya.

Pemukiman Kolonial Keempat

Baiklah, kita balik lagi ke pembahasan tour sejarah edisi Melihat Jejak Kolonial di Kotabaru Sisi Timur. Seperti biasa, acara ini dibuka dengan pengenalan asal mula kemunculan Kotabaru. Dulunya, Kotabaru adalah wilayah pemukiman kolonial yang keempat.

Pada waktu itu, orang Eropa semakin banyak yang tinggal di wilayah Yogyakarta. Peningkatan aktivitas ekonomi dan perkembangan perkebunan tebu serta pabrik gula, populasi orang Eropa di Yogyakarta pun semakin membludak.

Sekolah pribumi pada masa kolonial di Kotabaru. (Foto doc. Arini Sa'adah)

Loji Gedhe (Benteng Vredeburg) yang jadi pemukiman orang kolonial ketika itu sudah tidak dapat menampung kapasitas orang Eropa. Mereka pun meminta lahan kepada Sultan Yogyakarta untuk memperluas pemukiman orang Eropa. Kemudian dibukalah Loji Kecil di daerah timur Benteng Vredeburg sebagai pemukiman kolonial kedua, lalu kampung Bintaran sebagai pemukiman kolonial ketiga, dan Kotabaru sebagai pemukiman kolonial keempat.

Kampung Bintaran sudah tak mampu menampung orang-orang Belanda yang terus berdatangan. Residen Cornelis Canne tanpa ragu meminta Sultan Hamengkubuwono VII supaya diizinkan memakai lahan di sisi utara kota untuk ditempati orang-orang kulit putih.

Peran Kolonial di Lingkup Keraton

Muncul pertanyaan, mengapa Sultan mengabulkan permintaan orang-orang kolonial pada waktu itu. Jadi, ceritanya pada waktu itu orang-orang kolonial memiliki peran penting dalam lingkungan keraton.

VOC, yang merupakan kongsi dagang Belanda ketika itu berperan sebagai mediator dalam perjanjian Giyanti. Setelah usai Perang Jawa yang terjadi antara 1825 hingga 1830, terjadi persoalan internal di Keraton Surakarta. Lalu Pangeran Mangkubumi memberontak dan meminta daerah kekuasaan.

Hingga akhirnya muncullah perjanjian Giyanti yang memecah keraton jadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasunanan Yogyakarta. Inilah mengapa Sultan Yogyakarta begitu memerhatikan kebutuhan orang-orang Eropa pada saat itu karena sebagai mediator antara kedua belah pihak.

Memilih Daerah Strategis

Lantas mengapa dipilih Kotabaru sebagai pemukiman kolonial keempat? Kotabaru adalah daerah strategis yang memenuhi kriteria kebijakan politik etis ekonomi liberal-nya orang Belanda, yaitu irigasi, edukasi dan transmigraasi.

Secara geografis, wilayah Kotabaru berdekatan dengan Keraton Yogyakarta sehingga memudahkan komunikasi. Saluran irigasinya pun juga baik karena dekat dengan Kali Code. Tak hanya itu, yang terpenting adalah wilayah ini dekat dengan pabrik gula yang menjadi lahan perekonomian penting bagi kolonial. Perlu diingat, membludaknya orang-orang Eropa di Yogayakarta salah satunya adalah untuk keperluan pengelolaan pabrik gula. Sementara masyarakat pribumi hanya dijadikan kuli dan babu tentunya.

Ya, edukasi era kolonial memang bertujuan untuk mempekerjakan dan memperbudak masyarakat lokal. Jika pendidikan di Indonesia saat ini diciptakan hanya untuk memproduksi para pekerja, maka sebenarnya itu adalah warisan kolonial. Lembaga pendidikan mayoritas dibangun untuk menerapkan pendidikan pekerja supaya bisa diserap ke dunia kerja. Bukan untuk menjadi pintar!

Batas wilayah pemukiman kolonial Kotabaru dibatasi oleh Kelurahan Terban (dulu jalan Gondoloyo) di sisi utara. Sebelah timur dibatasi Jalan Klitren Lor, Kecamatan Gondokusuman. Sebelah selatan dibatasi rel kereta api Lempuyangan. Sementara di sebelah barat dibatasi Kali Code, Kelurahan Gowongan, Kecamatan Jetis.

Konsep Garden City

Di halaman Kantor Perpustakaan dan Arsip Kotamadya Yogyakarta ini, kami menghadap ke sebuah bangunan lama yang berasitektur unik, khas Belanda. Bangunan dengan dinding warna putih dan jendela berwarna biru muda itu diatapi dengan atap membentuk limas runcing. Gaya bangunan itu masih asli bekas peninggalan Belanda. Dulu, bangunan ini pernah dijadikan sebagai gedung pemerintahan Kotabaru dan pernah menjadi rumah dinas Wakil Jenderal Sudirman yang bernama Urip Sumoharjo.

Batu Monumen Gugurnya Taruna di Medan Plataran Kalasan saat membela kemerdekaan 1945. (Foto doc. Arini Sa'adah)

Kami pun dibawa menuju lokasi-lokasi di sisi timur Kotabaru yang menyimpan banyak kisah sejarah. Daerah pemukiman Kotabaru didesain oleh seorang arsitek asal Inggris. Wilayah ini dulu mengusung konsep Garden City dengan langgam bangunan Indis.

Garden City yaitu perpaduan antara desa dan kota. Inilah mengapa banyak ditemukan unsur pepohonan dan greenbelt di wilayah ini serta keberadaan boulevard yaitu jalan raya dua jalur yang di tengahnya ada jalur khusus pejalan kaki.

Rumah-rumah hunian juga didesain menjorok ke dalam supaya halamannya bisa ditanami pepohonan sebagai penyejuk udara alami dan bunga-bunga yang harum.  Inilah mengapa disebut ‘Kotabaru’ karena mengacu pada konsep hunian dan penataan lingkungan yang baru untuk orang-orang Belanda.

Fasilitas Publik yang Lengkap

Tak hanya konsep Garden City, Kotabaru semakin dimanjakan dengan keberadaan fasilitas publik yang lengkap. Bagaimana tidak, terdapat rumah sakit, dan sekolah-sekolah yang di bangun di area ini.

Rumah Sakit Bethesda yang ada di Kotabaru dulunya dibangun oleh seorang pendeta. Rumah sakit itu dulunya adalah sebuah klinik kesehatan yang dibangun berdasarkan misi penyebaran agama Protestan. Misi penyebaran ini melalui pelayanan kesehatan masyarakat secara gratis. Bahkan saat itu rumah sakit yang bernama Zending Zuikkenhais Pretonela itu menyediakan makan gratis kepada masyarakat hingga 3000 porsi per hari.

Bekas Rumah Sakit Bethesda yang dulu disebut sebagai Rumah Sakit Pitulungan. (Foto doc. Arini Sa'adah) 

Dikarenakan menyediakan layanan dan makana gratis, masyarakat menyebutnya Rumah Sakit Pitulungan. Misi pelayanan tersebut membuahkan hasil dengan banyaknya masyarakat Jawa yang pindah ke agama Protestan.

Selain rumah sakit yang kini bernama Bethesda itu, ada rumah sakit lain yang bernama DKT Dr Soetarto. DKT adalah singkatan dari Djawatan Kesehatan Tentara. Rumah sakit ini dulunya diperuntukkan untuk militer. Hingga kini kedua rumah sakit itu masih beroperasi dengan bangunan arsitektuk yang masih sama.

Tak hanya rumah sakit, ada pula pendidikan khusus tentara atau Militer Akademi dan pendidikan khusus pribumi. Di depan sekolah Militer Akademi ada sebuah batu monumen untuk memperingati para taruna yang gugur di medan plataran Kalasan dalam membela kemerdekaan Indonesia 1945.

Kemudian kami dibawa menuju spot bangunan sejarah berikutnya, yakni bangunan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri V Yogyakarta. Bangunan SMP ini dulunya adalah sekolah khusus masyarakat pribumi. Pada saat itu, sekolah yang setara SMP ini menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa penuturnya. Hingga kini, arsitektur bangunannya masih asli.

Banyak bangunan-bangunan di wilayah Kotabaru bagian timur yang bernilai sejarah. Namun demikian, banyak yang sudah berubah karena tidak didaftarkan sebagai cagar budaya. Wilayah Kotabaru pun kini juga sudah berubah menjadi pusat perekonomian. Banyak pengusaha yang membuka usaha di Kotabaru. Sebab pajak bangunan di Kotabaru ini sangatlah mahal sekitar 80 juta per tahun. Inilah mengapa banyak pemilik yang memilih menyewakan bangunannya. Sementara kini sudah banyak bangunan yang sudah berubah karena proses renovasi.

(Penulis: Arini Sa’dah)

Related

utama 7821526734026347717

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item