Kitab Sastra Yang Terbesar

PAWELING.COM - Amin al-Khuli dalam tulisannya mengatakan jika al-Qur’an adalah kitab sastra terbesar yang lahir dari budaya arab. Begitupun...



PAWELING.COM - Amin al-Khuli dalam tulisannya mengatakan jika al-Qur’an adalah kitab sastra terbesar yang lahir dari budaya arab. Begitupun dengan salah satu akademisi Islam di Indonesia bernama Nur Khalis Setiawan, disertasinya berjudul al-Qur’an kitab sastra terbesar, disertasi itu kemudian diolahnya lagi dan menjadi buku.

Padangan mereka berdua mengenai bahwa al-Qur-an adalah karya sastra terbesar membuat ketertarikanku pada al-Qur’an semakin besar, sekaligus bertanya-tanya, apa argumentasi mereka sehingga mengatakan bahwa al-Qur’an adalah sebuah karya sastra.

Amin al-Khuli sebagai salah seorang dosen dalam universitas al Azar tentu tidak sembarangan dalam mempublish suatu wacana. Kemudian Nur Khalis setiawan salah satu guru besar di universitas islam sunan kalijaga yogjakarta tentu juga bukan orang sembarangan.

Rasa ketertarikan saya pada bidang sastra dan dengan adanya dua argument dari dua orang kelas satu dalam bidangnya masing-masing membuat saya semakin semangat untuk mengkaji lebih dalam tentang hubungan sastra dengan al-Qur’an.

Nur khalis setiawan dalam menyusun disertasinya dibimbing oleh Nasr hamid abu zayd, Nasr hamid sendiri adalah salah satu murid-murid Amin al-Khuli. Kenyataan ini membuat saya semakin yakin, jika wacana yang mereka keluarkan bukan hanya wacana kosong belaka. Melainkan memiliki dasar yang cukup jelas.

Al-Qur’an adalah sebuah teks dengan bahasa arab, dan untuk memahami apa maksud dari teks al-Qur’an tersebut maka seorang penafsir harus mampu memahami bahasa dari teks al-Qur’an tersebut. Sehingga mereka bisa menafsirkan, dan memahami apa maksud dari teksnya.

Tetapi amin al-Khuli mengatakan jika paham akan bahasa teks al-Qur’an saja tidak cukup untuk bisa menafsirkan al-Qur’an. Seorang penafsir harus paham tentang ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an, seperti asbabun Nuzul, naskh Mansukh, pengkondifikasian al-Qur’an dan semua hal yang berhubungan dengan al-Qur’an. Tetapi menurut amin, hal itu juga masih belum cukup.

Mufasir yang ingin memahami al-Qur’an sesuai dengan makna aslinya. Makna yang ditangkap oleh para sahabat, maka mereka harus memandang bahwa al-Qur’an adalah sebuah karya sastra, teks sastra yang fungsinya sama seperti teks sastra lainnya.

Sebagai petunjuk, sebagai ilham, sebagai pemberi peringatan, sebagai penenang waktu hati sedang kacau dan lainnya. Itu semua adalah sama seperti sebuah puisi, cerpen dan karya sastra lainnya. Hal ini didasarkan pada sebuah riwayat yang mengatakan jika semua nabi itu memiliki mukjizat yang berhubungan dengan kondisi lingkungan ketika salah satu nabi itu turun.

Ketika Nabi musa turun ditengah-tengah masyarakat yang memiliki kecenderungan dunia sihir cukup kuat. Maka Allah memberikan mukjizat pada nabi Musa dengan mukjizat seperti sihir, tetapi melebihi ilmu sihir itu sendiri. Begitupun dengan nabi Isa, dimana perkembangan ilmu kedokteran sudah begitu maju.

Maka Allah memberikan mukjizat nabi Isa sehingga dia bisa menghidupkan orang mati, dan ilmu-ilmu kedokteran yang belum dicapai pada masa itu. Karena itulah, ketika al-Qur’an turun sebagai mukjizat pada nabi Muhammad, dan ketika itu masyarakat arab senang dalam bidang sastra. Maka tidak heran jika mukjizat nabi Muhammad adalah sebuah teks sastra, bukan teks sastra sembarangan, melainkan sebuah teks yang paling tinggi, sehingga tidak mampu dibuat oleh manusia.

Cara pandang inilah yang menurut amin al Khuli sebagai hal yang paling penting, sebagai dasar seorang mufasir untuk menafsirkan al-Qur’an. Amin mengatakan jika al-Qur’an tidak akan bisa ditafsirkan ( dalam arti tafsir yang sesuai dengan makna aslinya) ketika orang tersebu tidak paham bahwa al-Qur’an adalah kitab sastra yang terbesar.


Penulis : Lohanna Wibbi Assiddi.

Related

Ngaso 2121625931411372052

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item