Pembacaan Al-Qur’an Dengan Konsep Stilistika

PAWELING.COM - Stilistika menjadi pilihan saya sebagai bahan untuk menyelesaikan tugas akhir kuliah atau skripsi. Bagi saya stilistika sa...

PAWELING.COM - Stilistika menjadi pilihan saya sebagai bahan untuk menyelesaikan tugas akhir kuliah atau skripsi. Bagi saya stilistika sangat menarik khususnya mengenai pandangannya pada al-Qur’an yang tidak melulu dipandang sebagai teks agama yang suci.

Pertama untuk membaca al-Qur’an secara stilistika maka perlu menggunakan terminologi bahwa al-Qur’an adalah salah satu kitab sastra yang muncul di dunia arab masa lalu, dan menjadi kitab terbesarnya hingga akhir zaman.

Menurut salah satu tokoh muslim kontemporer bernama Amin al Khuli mengatakan jika pembacaan penafsiran al-Qur’an harus dimulai dengan pandangan bahwa al-Qur’an adalah kitab sastra yang paling besar, implikasi dari pandangan ini adalah para penafsir akan mampu menangkap pesan al-Qur’an yang sebenarnya.

Sebagaimana para sahabat menangkap al-Qur’an pada masa awal-awal penyebaran islam. Dalam berbagai riwayat saya belum menemukan satu sahabat yang tidak takjub pada struktur sastra yang ada di dalam al-Qur’an.

Riwayat yang terkenal adalah ketika sahabat Umar bin Khattab masuk Islam, dimana Umar yang sebelumnya memusuhi Nabi Muhammad berbalik menjadi pelindung nabi dari musuh Islam. Hal tersebut terjadi ketika umar membaca lembaran teks al-Qur’an yang dibaca oleh adiknya, Fatimah.

Umar merasa takjub dengan bacaan teks tersebut kemudian dia datang kepada nabi dan menyatakan keislamannya. Riwayat lainnya yang menununjukkan jika al-Qur’an adalah sastra dan pembacaan pada masa awal munculnya al-Qur’an juga dengan pandangan sastra adalah sebuah riwayat yang berkisah tentang Walid bin al Mughirah.

Pada suatu ketika dia (al Walid) diutus oleh kaum quraisy, tujuanya adalah untuk menemui Muhammad untuk berdiskusi tentang agama yang dibawanya, hingga akhirnya Muhammad mau meninggalkan proses berdakwahnya. Pada proses diskusi itulah Muhammad membacakan beberapa ayat dalam al-Qur’an.

al Walid merasa takjub dengan bacaan yang telah diucapkan oleh Muhammad tadi, sehingga ketika kembali kepada kaumnya dia dianggap telah mengikuti agama dari Nabi Muhammad, tetapi al Walid berkata kepada kaumnya : “Tidak seorang pun di antara kalian yang lebih mengerti tentang puisi daripada saya, apakah itu bentuk rajaz-nya ataupun gashiidah-nya. Demikian pula halnya dengan puisi-puisi jin. Tidak ada yang menandingi saya. Demi Allah, tidak ada satu pun yang menyerupai apa yang dia (Muhammad) katakan, ucapannya begitu manis, begitu indah, bagian atasnya bersinar, dan bagian bawahnya merekah. Ucapan itu begitu tinggi dan tidak ada yang menandinginya. Dan, ucapan itu melumatkan ucapan yang berada di bawahnya.”  (Kisah tersebut di kutip dalam buku Amin Al Khuli dan Nasr Hamid Abu Zayd berjudul metode tafsir sastra)

al-Qur’an sebagai sastra memang sudah pasti benar, bukti bahwa nabi Muhammad turun di tengah-tengah kaum yang ilmu tentang persajakan (sastra) begitu tinggi adalah satu bukti yang tidak bisa disangkal. Hal ini senada dengan mukjizat dari para nabi terdahulu, Nabi Musa yang turun di tengah-tengah kaum dengan ilmu sihir maka nabi Musa dibekali Tuhan dengan ilmu di atas ilmu sihir.

Begitupun dengan nabi Isa, dia dibekali dengan ilmu kedokteran yang melebihi ilmu kedokteran pada masa itu. Lalu apakah pentingnya untuk membaca al-Qur’an berdasarkan pandangan stilistika (sastra). Apakah yang membedakan antara pandangan ini dengan pandangan umum lainnya.

Islam Moderat dengan cara pandang tafsir sastra

Seperti yang diucapkan oleh Amin Al Khuli dalam bukunya, bawah kajian al-Qur’an dengan pendekatan sasatra tidak memandang tentang yang berhubungan dengan agama atau doktrin agama lainnya. Dengan pandangan sastra ini maka si pengkaji akan memahami maksud dari teks al-Qur’an sebagaimana teks tersebut dimaknai oleh sahabat pada masa awal Islam.

Baru setelah semua orang sudah paham dan menggunakan cara pandang sastra terhadap pembacaan al-Qur’an maka si pembaca bebas untuk mengambil pelajaran apapun dari al-Qur’an itu. Menurut amin tujuan kedua dalam mengkaji al-Qur’an (mengambil pelajaran baik itu berupa sains, ilmu pengetahuan, agama, hukum dan lainnya) Tidak akan terwujud tanpa adanya cara pandang sastra kepada al-Qur’an.

Amin juga menambahkan bahwa cara pandang ini (al-Qur’an) sebagai karya sastra jika digunakan untuk mengkaji al-Qur’an, maka orang yang bukan muslim akan mengamini kebenaran dari al-Qur’an dan mereka akan takjub pada isi dari al-Qur’an tersebut. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada al Walid bin al mughirah.

Dia (Amin Al Khuli) juga menjelaskan bahwa tujuan dari tafsir berdasarkan sastra ini adalah salah satu tujuan untuk mengembalikan nilai awal dari para sahabat. Dalam artian memahami bagaimana sahabat mencerna teks al-Qur’an ketika pertama kali turun. Proses inilah yang menjadi dasar untuk proses selanjutnya, yakni proses penafsiran al-Qur’an berdasarkan kajian stilistika.

Karena al-Qur’an dibaca sebagai karya sastra terbesar yang lahir dari bangsa arab (sama dengan cara bacanya para sahabat) maka kemungkinan besar pemahaman pembaca terhadap al-Qur’an akan sama dengan pandangan para sahabat.

Maka disinilah yang menurut saya menjadi penting, al-Qur’an bisa dipahami sebagaimana para sahabat memahaminya. Dengan pandangan al-Qur’an sebagai teks sastra maka Amin berharap menjadi dasar dari proses penafsiran, jadi semua penafsir harus memiliki pemahaman bahwa al-Qur’an adalah sastra terbesar, sama seperti para sahabat.

Maka karena itulah proses penafsiran bukan kepada mencari hukum untuk membenarkan apa yang sudah menjadi argumentasinya. Tetapi proses penafsiran adalah proses untuk mencari ilmu dan petunjuk (tanpa didasari untuk memperkuat argumen pribadi, argument golongan).

Pandang ini (al-Qur’an sebagai karya sastra) maka mengharuskan al-Qur’an adalah sebuah teks yang universal. Karena itu adalah teks universal maka kajian terhadap al-Qur’an (setelah memahami metode pembacaan sastra) bisa didekati dari berbagai disiplin ilmu.

Semua orang bisa memahami al-Qur’an selayaknya karya sastra, tetapi karya sastra yang paling agung dari peradaban manusia. Kemudian mereka mengambil satu manfaat penting untuk dirinya atau kelompoknya. Tanpa memandang tafsiran lainnya adalah hal yang salah.

Pandangan bahwa semua tafsiran dalam benar, sebenarnya sudah dijelaskan oleh nabi dan juga Tuhan. Tetapi meskipun begitu mereka masih saja mengolok-olok tafsiran lainnya yang tidak sesuai dengan tafsirannya (dirinya atau dari kelompoknya)

Dengan cara pandang al-Qur’an sebagaimana karya sastra, maka orang yang membacanya akan memahami bahwa al-Qur’an adalah teks yang universal. Dan karena teks universal orang mendekati boleh dari mana saja, dan pemahamannya tentang tafsir al-Qur’an tentu akan berbeda satu dengan lainnya.

Cara pandang tersebutlah yang menurut saya menjadi landasan orang untuk berbuat moderat, berbuat lebih santun baik terhadap agama sendiri yang beda golongan atau pada agama lainnya. Dengan Islam moderat inilah kemudian akan didapatkan Islam yang rahmatan lil alamin, dan tidak gampang mengkafirkan agama lainnya.

 

 Penulis : Lohanna Wibbi Assiddi


Related

Kamanungsan 3125193330355737868

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item