Sangkan Paraning Dumadi, Menjadi Manusia Seutuhnya
Paweling.com _Jawa, tempat saya tinggal adalah sebuah pulau istimewa yang banyak mengajarkan kehidupan untuk menjadi manusia, yang benar-ben...
Paweling.com_Jawa, tempat saya tinggal adalah sebuah pulau istimewa yang banyak mengajarkan kehidupan untuk menjadi manusia, yang benar-benar manusia. Jika orang-orang barat terkenal dengan filsafat manusianya dengan tujuannya adalah mencari jati diri manusia, agar kemudian bisa menjadi manusia sejati.
Bagi masyarakat Jawa, khususnya saya sendiri, ajaran menjadi manusia sejati tidak harus dipelajari dari peradaban barat. Nenek moyang Nusantara telah mengajarkan sebuah falsafah hidup yang begitu tinggi jika digali maknanya. Yakni falsafah Jawa sangkan paraning dumadi.
Sangkan paraning dumadi adalah sebuah ajaran, bukan hanya dari segi kehidupan duniawi, tapi jika dikaji lebih dalam akan bisa memahami sejatinya agama. Ajaran tersebut, pada masa dahulu adalah perlambang bahwa orang yang memahaminya pasti memiliki kedalaman ilmu, baik ilmu agama atau ilmu keduniawian.
Sangkan paraning dumadi merupakan ajaran bagi masyarakat Jawa agar menjadi manusia yang sejati. Manusia sejati yang ingin dicapai dalam ajaran tersebut bukan hanya memahami dirinya sendiri sebagai manusia yang harus bekerja, harus makan dan lainnya.
Ajaran sangkan paraning dumadi adalah ajaran yang mengajarkan menjadi manusia sejati bukan hanya dari segi duniawi tapi lebih jauh yakni dari segi spiritualitas manusia. Untuk menjadi manusia sejati seperti dalam sangkan paraning dumadi seorang pejalan (saya mengartikan pejalan ini seperti suluk dalam dunia sufi, pejalan adalah orang yang mencari jati diri manusia, kenapa dia ada, dari mana asalnya, tujuan adanya adalah untuk apa, dan kemana kembalinya manusia tersebut).
Dalam khazanah pemikiran Jawa, manusia itu tercipta oleh Tuhan yang esa dengan perantara ibu dan Bapak ketika mereka telah bersatu. Kemudian muncullah air kehidupan ( Sperma dari laki-laki dan sel telur dari perempuan). Ketika proses penciptaan selesai, maka Tuhan meniupkan ruh pada jabang bayi di umur 4 bulan.
Selama proses peniupan ruh kedalam tubuh jabang bayi inilah terjadi perjanjian antara ruh jabang bayi dengan Tuhan. Yang isi perjanjian adalah untuk selalu mengesahkan Tuhan, dan harus selalu ingat tujuannya kenapa dia diciptakan oleh tuhan. Semua jabang bayi memiliki tujuan hidup sendiri-sendiri.
Kelak di kemudian hari ketiak jabang bayi telah menemukan sifat sejatinya maka akan tahu dimana tempatnya dalam satu wilayah, fungsinya untuk apa. Menjadi manusia sejati, maka manusia tidak akan pernah bermasalah dengan perbedaan, mereka menjunjung perbedaan sebagai hal mutlak.
Perjalanan hidup untuk mendapatkan sangkan paraning dumadi, dilukiskan secara jelas oleh perjalanan tokoh wayang raden Brotoseno atau werkudoro. Raden Werkudoro dalam perjalanannya untuk mendapatkan sangkan paraning dumadi, pertama dia harus melewati dua sosok raksasa.
Singkatnya ketika Raden Werkudoro mengalahkan dua raksasa, dia melanjutkan perjalanannya untuk mencari ilmu sejati. Di akhir perjalanan Raden Werkudoro menjumpai dewa Ruci, dewa yang di anggap oleh Raden Werkudoro sebagai guru untuk mengajarkan ilmu sejati (ilmu menjadi manusia yang sejati, menyerupai dewa).
Raden Werkudara diminta untuk masuk dalam tubuh dewa Ruci. Sosok dewa Ruci sangatlah kecil sehingga membuat Raden Werkudara sedikit tidak percaya, bagaimana dia bisa masuk kedalam tubuh dewa Ruci sedangkan tubuhnya lebih kecil. Tapi karena dewa Ruci menyakinkannya akhirnya dia masuk kedalam tubuh dewa Ruci.
Dewa Ruci dalam falsafah kehidupan Jawa bukanlah dewa yang ada diluar diri manusia, melainkan ruh yang ada di dalam diri manusia. Yakni Tuhan yang telah meniupkan ruh dalam diri manusia tersebut.
Jika manusia sudah bersatu dengan ruh sejati maka mereka akan menjadi manusia sejati, manusia yang sudah paham mereka berasal dari mana, kemana harusnya mereka berjalan, dan mengetahui kemana mereka akan kembali jika sudah meninggal nantinya.
Ajaran sangkan paraning dumadi adalah ajaran asli nenek moyang Nusantara, yang merupakan sebuah proses untuk menjadi manusia yang sejati. Tapi sayangnya ajaran ini mulai ditinggalkan oleh para generasi milenial.
Ada yang menganggap jika ajaran dalam pementasan wayang adalah syirik, bertentangan dengan dalil agama. Belajar pada wayang, menurut anak milenial adalah hal kuno. Mereka (para milenial) menganggap jika belajar pengetahuan adalah harus dari peradaban barat.
Karena hal tersebutlah, maka sekarang kita melihat para generasi muda tidak memiliki pijakan yang kuat untuk menyangga hidupnya. Mereka seperti kapas yang terbang terkena angin, hanya ikut hembusan angin tanpa tahu kemana tujuan hidupnya dan berasal dari mana.***Wibbi