Hidup hanya sekedar berhenti untuk minum
Dalam khazanah Jawa ada istilah urip kuwi mung mampir ngombe , kira-kira jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah sama seperti j...
Dalam khazanah Jawa ada istilah urip kuwi mung mampir
ngombe, kira-kira jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah sama seperti
judul di atas. Mampir ngombe, artinya adalah singgah hanya untuk minum. Tapi
menurut saya, mampir bukan hanya sekedar singgah sebentar.
Dalam pikiran saya istilah tersebut mengandung arti yang
lebih dalam, menurut saya mampir ngombe adalah mampir untuk istirahat sekaligus
mengumpulkan tenaga, dan bekal untuk perjalanan kehidupan selanjutnya. Jadi
dalam khasanah Jawa, ada tiga fase kehidupan manusia, pertama adalah alam di
kandungan ibu atau Purwo, alam kedua adalah alam Madyo dan terakhir adalah alam
Wusono.
Alam Madyo adalah alam dimana kita hidup, tempat manusia
mengumpulkan bekal untuk melanjutkan perjalanan ke alam Wusono. Ketika sudah
menempuh perjalanan alam Wusono maka manusia sudah meninggal. Perjalanan ke
alam Wusono bisa berjalan dengan mudah atau sulit itu tergantung bagaimana
proses manusia ketika mampir ngombe di alam Madyo.
Falsafah Jawa urip kuwi mung mampir ngombe sebenarnya masih
ada hubungan dengan sangkan paraning dumadi. Sangkan paraning dumadi yang
merupakan falsafah untuk mencari asal usul manusia, tujuan diciptakannya
manusia, dan kemana mereka akan kembali setelah matinya nanti.
Jika falsafah Jawa urip kuwi mung mampir ngombe artinya
adalah ajaran sekaligus peringatan kepada manusia jika sedang menempuh
perjalanan di alam Madya jangan tergoda oleh pernak-pernik di alam Madyo.
Sebagaimana orang yang hanya singgah untuk minum dan istirahat sebentar, maka
tujuan dari hidup sesorang bukan di alam Madyo.
Tapi tujuan manusia adalah setelah alam Wusono, yakni
kembalinya ruh pada ruh sejati (Tuhan yang Esa). Maka ada orang yang mengatakan
jika sangkan paran ing dumadi, urip iku mung mampir ngombe dan manunggaling
kawulo gusti adalah 3 falsafah Jawa yang jika dipahami akan menjadikan manusia
Jawa sebagai manusia sejatai. Manusia unggul yang tahu siapa, asalnya darimana
dan kemana mereka akan kembali.
Tapi, terlepas dari begitu bagusnya ajaran nenek moyang
Nusantara, ajaran tersebut hanya sebatas ajaran sejarah. Hanya sebatas tulisan
di buku dan kaum muda memahaminya dengan sekedarnya. Hiruk pikuk kaum muda
disibukkan dengan pernak-pernik alam madyo, yang seharusnya dihindari oleh
manusia sejati. Sehingga 3 falsafah tadi tidak dipelajari lebih dalam karena
menurut mereka tidak menguntungkan untuk kehidupannya.
Dan sayangnya, semangat dari Negara secara kebetulan
mendukung pola pikir kaum muda tersebut, mereka (kaum muda) sibuk bekerja,
menghasilkan uang, bekerja lagi, menghasilkan uang, menikah, mempunyai anak,
memikirkan bagaimana menjadi orang kaya, mengajari anak bekerja dan begitu
seterusnya.
Anak sudah tidak diajari lagi mengenai urip iku mung mampir
ngombe, sangkan paraning dumadi, dan manunggaling kawulo gusti. Anak hanya di
ajari bagaimana menjalankan usaha ini, begini agar bisa beruntung.
Lebih parah lagi 3 falsafah Jawa tersebut oleh sebagian
pihak disalah artikan sebagai ajaran sesat yang tidak ada dalam ajaran Agama.
Sehingga mengajarkan pada anak ( urip mampir mung mampir ngombe, sangkan
paraning dumadi, dan manunggaling kawula gusti) adalah perbuatan dosa.
Negara memfasilitasi berbagai macam sarana pendidikan,
pendidikan yang inginkan oleh Negara adalah pendidikan yang bisa menghasilkan
para pekerja tangguh. Pekerja yang siap bersaing dengan negara maju di dunia.
Pekerja dengan etos kerja yang profesionla dengan mengesampingkan kemanusiaan.
Negara tidak memfasilitasi bagaimana menjadi manusia menjadi
manusia sejati, mereka memahami siapa manusia itu. Bagaiamana mengenal Tuhan,
dan ketika sudah mati maka kemana manusia akan kembali, apakah menjadi bakteri,
kemudian menjadi manusia lagi atau sudah berhenti sampai ketika manusia mati.
Banyak kaum muda tidak pernah paham tentang falsafah
kehidupan Jawa ( ini untuk anak muda Jawa, akan muda dari Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Papua, Bali dan pulau-pulau lainnya harus paham falsafah kehidupan
tempat mereka lahir). Mereka lebih paham tentang semua hal dari Korea selatan,
drama Korea telah menjadikan anak muda menganggap kuno budaya Nusantara.
Mungkin ada satu ajaran nenek moyang yang akan diminati oleh
para generasi milenial, yakni tentang klasifikasi perempuan dalam budaya Jawa.
Terbagi menjadi 4 bagian, pembagiaannya adalah berdasarkan bentuk wajah, bentuk
payudara, tinggi badan, warna kulit.
Tidak bisa disangkal, generasi muda lebih menyukai hal yang
berbagai percintaan, hubungan lawan jenis. Sehingga pembagian tipe perempuan
Jawa lebih diminati oleh para laki-laki daripada ajaran urip kuwi mung mampir
ngombe.. ***Wibbi