NU Berpolitik, atau Kiai yang Berpolitik

Paweling.com _Seperti yang jamak diketahui Nahdlatul Ulama, atau biasa disebut NU adalah organisasi massa terbesar saat ini. Hingga karen...



Paweling.com_Seperti yang jamak diketahui Nahdlatul Ulama, atau biasa disebut NU adalah organisasi massa terbesar saat ini. Hingga karena saking besarnya, NU memiliki banyak cabang istimewa di luar negeri.

Dalam hal kultur, NU memiliki kecenderungan menjadi tradisionalis dengan tetap mengakomodasi tradisi masyarakat lokal di tempat NU tumbuh. Tetap melakukan kenduri, sholawat dan lain sebagainya yang berhubungan dengan tradisi.

Bagi orang-orang NU, tidak menjadi masalah melakukan ritual keberagamaan beriringan dengan laku budaya masyarakat. Misalnya, membaca tahlil secara berjamaah  yang merupakan kegiatan peribadatan, beriringan dengan kenduri yang merupakan tradisi masyarakat.

Untuk menjaga keharmonisan antara budaya dan agama ala NU, bisa juga disebut sebagai beragama Islam ala NU, Nahdlatul Ulama membutuhkan para penjaga. Dalam hal ini penjaga yang saya maksudkan adalah para Kiai.

Jadi di dalam tubuh NU, Kiai bukan hanya pintar mengurus dalil-dalil agama saja, tapi juga harus pintar mengurus administrasi organisasi, dan yang juga penting adalah mampu ikut andil dalam politik di negeri ini.

Kiai, pengayom

Kiai, dalam NU merupakan sosok sentral. Sebagian orang NU, sikap kepada kiai adalah sami'na wa athok'na, apapun yang dikatakan kiai harus dita'ati. Disuruh masuk "jumbleng" sekalipun.

Sedangkan sosok kiai sendiri, menurut saya, ada kiai kultural dan kiai struktural. Kiai kultural adalah orang, atau sesuatu, yang oleh masyarakat di-kiaik-an. Sedangkan kiai struktural adalah orang-orang yang ditunjuk pihak NU untuk menjadi pengurus ditubuh NU, menjadi rais syuriah misalnya

Ada satu lagi jenis kiai di NU, kiai politisi. Kiai politisi adalah orang yang di-kiai-kan bukan karena sosoknya yang alim namun karena mempunyai jabatan politik, anggota DPR, misalnya.

Kiai-kiai kultural NU, biasanya, tidak mengenal politik, sebab beliau-beliau tumbuh dan berkembang di kampung yang jauh dari lingkaran arus politik. Meskipun, tidak selalu demikian. Sebab, pada skala nasional banyak kiai-kiai kultural yang sengaja "ditarik" untuk menjadi kiai struktural ditubuh NU, sehingga mau tidak mau beliau-beliau ini harus mengenal arus politik.

Dengan organisasi sebesar itu, NU mempunyai pengaruh besar dalam percaturan politik dalam skala nasional maupun lokal. NU memiliki modal suara pemilih yang banyak untuk memenangkan sebuah pemilihan kepala daerah ataupun kepala negara. Maka, bukan hal yang aneh ketika mendekati momen pemilihan umum banyak pihak-pihak yang berkepentingan merapat ke NU untuk "merayu" para kiai agar mempengaruhi Nahdliyin agar memilih salah satu kandidat dengan janji ini-itu, memakmurkan NU, misalnya.

Kiai politisi, pengayom kepentingan

Tak ayal, pemilukada Ponorogo kali inipun demikian, banyak politisi merapat ke NU untuk mendapatkan suara banyak, agar peluang mereka untuk menang bertambah.

Beberapa kiai NU sudah menyiratkan tanda agar orang-orang NU memilih salah satu calon kepala daerah. Terlebih karena salah satu partai yang dianggap "partainya wong NU" sudah merekomendasikan salah satu calon, meskipun partai ini juga yang pernah su'ul adab kepada kiai pendirinya, Gus Dur.

Hal inilah kemudian yang mengusik saya untuk menuliskan ini. Dengan kenyataan yang demikian ini, orang-orang NU seakan tidak memiliki kebebasan untuk memilih calon kepala daerah (Cakada) yang ada. Warga NU memilih Cakada karena Cakada yang bersangkutan adalah pilihan kiyai, meskipun tidak murni pilihan kiai namun murni pilihan partai yang su'ul adab tadi.

Banyak orang menganggap partai tersebut masih merepresentasikan NU, politisinya pun demikian, ketika momen pemilihan mereka mengaku diri sebagai NU, namun tidak demikian setelah mereka jadi pejabat, NU selalu dianggap nomor dua setelah partai kendaraan mereka.

Para kiai politisi ini, dalam hal berpolitik, selalu berlindung di bawah bendera NU untuk mencari pengaruh dari warga NU. Sehingga, kelakuan yang demikian ini menjadikan NU seakan-akan organisasi politik praktis. Meskipun, seharusnya, dan saya kira mereka juga tahu yang ditonjolkan seharusnya adalah partai mereka.

Atau, sebenarnya, mereka juga tahu kalau partai yang bersangkutan sudah tidak laku sehingga mereka tetap membawa-bawa NU?. ***Khafid.

***Opini di atas murni menjadi tanggung jawab dari penulis,

Jika ada kritik saran, atau sanggahan bisa hubungi kami di [email protected].

Related

Paweling 5621161672060974930

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item