Demokrasi ala Gus Dur
Paweling.Com- Perumusan Republik Indonesia dilakukan pada 18 Agustus 75 tahun silam. Pada hari itu, Soekarno, Hatta dan tokoh lai...
http://www.paweling.com/2020/08/demokrasi-ala-gus-dur.html
Paweling.Com-Perumusan Republik Indonesia dilakukan pada 18 Agustus 75 tahun silam. Pada hari itu, Soekarno, Hatta dan tokoh lainnya berdebat mengenai model demokrasi seperti apa yang cocok diterapkan di Indonesia.
Demokrasi, suatu sistem yang menaruh rakyat menjadi prioritas dan pusara pengelolaan negara. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Demokrasi sejatinya tidaklah hal baku, karena itu adalah kendaraan untuk mengayomi dan menyejahterakan seluruh rakyat. Akan tetapi, pelaksanaan demokrasi seperti yang kita lihat sering berubah-ubah. Entah karena situasi maupun penafsiran yang berbeda dari setiap kepala.
Hingga tahun 1966, demokrasi di Indonesia sempat melewati beberapa fase, mulai demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin. Dengan pertimbangan bahwa demokrasi liberal terlalu gontok-gontokan. Sedangkan demokrasi terpimpin cenderung diktatur.
Kemudian akhirnya disepakati model demokrasi pancasila yang masih diterapkan hingga saat ini.
Demokrasi pancasila ini yang terus berusaha dirawat, agar tidak melenceng seperti dua demokrasi sebelumnya. Upaya-upaya penjagaan demokrasi tidak lepas dari tangan para politikus dan cendekiawan, termasuk Gus Dur.
Gus Dur, tokoh yang tak pernah mati di ingatan banyak masyarakat Indonesia. Nama lengkapnya Abdurrahman Wahid, dikenal sebagai presiden ke-4 Indonesia yang cerdas di banyak bidang.
Beliau lahir pada tanggal 7 Agustus 1949 di Denanyar, Jombang sebagai putra pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dari pasangan KH Wachid Hasyim, putra pendiri Nahdlatul Ulama (KH M. Hasyim Asy'ari) dan Hj. Sholehah, putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syansuri.
Gus Dur menghabiskan masa remaja di Tebu Ireng, Jombang dan Tambak Beras. Ia juga pernah berkuliah di Mesir. Pada tahun 1984, beliau dipilih sebagai ketua PBNU dalam muktamar ke -27 di Situbondo.
Meski didukung Soeharto kala terpilih menjadi Ketua Umum PBNU pada 1984, Gus Dur justru semakin vokal mengkritik kebijakan Soeharto.
Forum Demokrasi
Pada tahun 1991, ketika orde baru berkuasa, Gus Dur membentuk sekaligus mempimpin Forum Demokrasi, yang kala itu sempat membuat presiden Soeharto geram.
Pertengahan Maret 1991, berkumpul sekitar 40 orang yang diundang Gus Dur melalui tertulis maupun telepon. Empat puluh orang ini berasal dari berbagai instansi, mulai dari PBNU, LP3ES, ICMI, media, hingga akademisi.
Forum Demokrasi dipakai sebagai media kritik pada pemerintahan kala itu. Forum itu akan bergerak dalam kegiatan penyadaran politik dan kultural untuk membentuk wawasan politik yang benar, jujur dan sehat.
Gus Dur membentuk forum ini salah satunya karena ia melihat iklim demokrasi di Indonesia yang melemah. Juga merebaknya sikap sektarian atau mementingkan golongan dan kelompok tertentu di atas lainnya.
Meski demikian, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan pada saat itu, Sudomo berpendapat lain."Ini aneh. Maunya apa? Gus Dur cuma membuat kejutan yang tak perlu. Sekarang ini kan kita sedang melaksanakan demokrasi," ujarnya.
Forum Demokrasi bergerak untuk melakukan penyadaran melalui hasil studi. "Kami juga tidak perlu ditakuti. Kami nggak menyusun kekuatan. Bukan juga pressure group. Hanya saja, karena yang bicara ini orang-orang yang mengalami pahit getir ikhtiar menegakkan demokrasi, omongan kami akan punya bobot." Begitu kata Gus Dur dalam wawancara bersama Tempo.
Kemunculan Forum Demokrasi jadi perhatian banyak pihak serta media, baik nasional maupun internasional. Dirjen Sospol Harisoegiman sempat mengusulkan untuk mengganti nama Forum Demokrasi. Tujuannya, agar tidak menimbulkan banyak interpretasi dan tidak menjadi oposan pemerintah.
Selang beberapa bulan, nama tidak diubah, dan kegiatan forum tetap berjalan. Forum Demokrasi sudah berdiri di tiga kota, yakni Yogya, Surabaya dan Semarang. Kegiatan berjalan satu minggu sekali di hari Kamis. Pada hari itu kelompok kerja (pokja) berkumpul, terkadang dibarengi diskusi yang mengundang tamu.
Gus Dur sebagai ketua pokja terus mengupayakan penyadaran politik masyarakat agar bisa bersama menghidupkan demokrasi.
Demokrasi Menurut Gus Dur
Gus Dur mempunyai pandangan kritis mengenai demokrasi yang tercabik oleh sektarianisme. Ia menyontohkan kasus pencabutan SIUPP majalah Monitor atas protes sebagian umat islam, namun tanpa melewati jalur hukum. Ia pun sangat menyayangkan tokoh intelektual muslim yang mendukung pencaputan SIUPP itu atas kesalahan yang dilakukan oleh kru majalah.
Adapun demokrasi yang dicita-citakan Gus Dur, seperti yang ditulis dalam buku Abdurrahman Wahid dan Forum Demokrasi terbitan Tempo adalah demokrasi yang mengerti akan kontroversi. Menurutnya, jika seseorang melarang kontroversi, maka ia calon diktator, bukan pancasilais.
Ia berharap, rakyat Indonesia bisa mengingat bahwa demokrasi adalah kebebasan, keadilan, dan kesamaan di mata hukum.
Dalam buku kumpulan esai Gus Dur, Tuhan Tak Perlu Dibela, ia juga menegaskan pentingnya merawat demokrasi. Gus Dur menulis, demokrasi di Indonesia belum tegak sebagaimana mestinya. Demokrasi hanya menjadi kosmetik dibandingkan pondasi yang menjadi landasan pengaturan hidup yang sesungguhnya.
Itu yang menyebabkan dibendungnya aspirasi orang-orang yang sadar oleh kekuatan anti demokrasi. Ia menegaskan, ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi di banyak negara berkembang.
Secuil informasi di atas adalah sebagian dari upaya Gus Dur merawat demokrasi di Indonesia. Tak ada salahnya digunakan sebagai refleksi untuk melihat wajah demokrasi di Indonesia baru-baru ini.
Pembaca tentu sudah akrab dengan berita penangkapan paksa, pembubaran diskusi, victim blaming korban kekerasan seksual, hukum yang tak bisa menindak pelaku kejahatan, hingga penyiraman air keras yang berakhir drama di pengadilan.
Demokrasi masih terus kita rumuskan bentuknya. Di sekolah, perguruan tinggi, desa yang tanahnya digusur atas nama pembangunan, forum diskusi kritis, dan platform media sosial. Demokrasi yang melibatkan seluruh rakyat tanpa terkecuali. Menjadi payung di mana semua orang dapat berlindung, bukannya dihabisi atas nama demokrasi.
Penulis akan menutup dengan kutipan esai Gus Dur;
"Seperti kemerdekaan, demokrasi dalam artian sebenarnya, terlepas dari predikat apapun yang dilekatkan padanya, tidak akan datang begitu saja dengan sendirinya. Ia haruslah dicapai dengan pengorbanan."
***Haniina