Sejarah dan Arsitektur Masjid Darul Muttaqien: Sebuah Peninggalan Berharga di Sukorejo, Ponorogo

Masjid tampak dari depan. (Dok. Ahmad Hasbi) Paweling.Com- "Pènget adegé Masjid Nambangreja dina Ahad Pon wulan Arwah pitulas tahun Waw...

Masjid tampak dari depan. (Dok. Ahmad Hasbi)

Paweling.Com- "Pènget adegé Masjid Nambangreja dina Ahad Pon wulan Arwah pitulas tahun Wawu", sebuah kalimat yang terukir di salah satu inskripsi di Masjid Darul Muttaqien, Sukorejo. jika dialihbahasakan berbunyi, “Berdirinya masjid Nambangreja hari Ahad Pon bulan Arwah Tujuh Belas Tahun Wawu” yang jika dikonversikan ke masehi menjadi 25 Juli 1880 M. Tahun inilah yang menjadi penanda berdirinya masjid kuno ini. Masjid tersebut menyimpan beberapa inskripsi kuno yang masih asli ukiran tangan orang pada zaman dahulu lengkap dengan ornamen-ornamennya yang khas. Mengapa Inskripsi di masjid ini menarik, karena tidak semua masjid di Ponorogo memilikinya. Dengan kata lain inskripsi menjadi salah satu ciri khas peninggalan masjid tua yang menyimpan juga menjadi pintu masuk untuk mengetahui sejarahnya.

Masjid tersebut menyimpan beberapa peninggalan inskripsi, pada serambi masjid tepatnya di atas pintu masuk terukir tanggal 25 Jumadil Akhir 1360 H yang bertepatan dengan 30 Juni 1941 M. Tanggal tersebut menjadi penanda adanya renovasi bangunan masjid. “Dulu masjid ini masih bertembok gedeg, Mas, lalu setelah ada renovasi di ganti dengan batu bata seperti sekarang ini”, jelas Takmir masjid. Dapat dibayangkan pada saat bangunan masjid ini masih bertembok gedek (anyaman bambu) yang sangat sederhana sudah bisa menjadi tempat untuk beribadah, berbeda dengan zaman sekarang ini yang harus megah dan mewah agar dapat beribadah dengan khusyu’. Memang kondisi saat ini sudah kokoh dengan bangunan bertembok batu bata dan dipoles dengan lantai keramik dan berbagai warna cat untuk memperindah bangunan.

Setelah memasuki masjid terdapat mimbar yang masih berdiri kokoh berada di sebelah imam.  Mimbar tersebut berwarna hijau dengan ornamen-ornamen klasik. Pada hiasan yang berbentuk setengah lingkaran (plengkung) terukir jelas kalimat tauhid. Tepat di bawah kalimat tauhid tersebut terukir waktu pendirian masjid. Selanjutnya, ada juga inskripsi yang terukir jelas di sandaran mimbar masjid tersebut. Inskripsi tersebut tertulis “Adegé ajaran Masjid Nambangreja dina Jemah Kliwon wulan Suro tahun Hak”. Inskripsi ini sebagai penanda pembuatan mimbar masjid yang masih berdiri kokoh sampai saat ini.

Inskripsi di Plengkung Mimbar. (Dok. Ahmad Hasbi)

Seperti umumnya bangunan peninggalan sejarah, masjid ini mempunyai banyak peninggalan. Baik berupa bangunan atau naskah. Namun sangat disayangkan, beberapa naskah kuno seperti kitab-kitab pesantren dan al-Qur’an tidak diketahui keberadaannya. “Dulu ada, mas, tapi setelah beberapa renovasi sering dipindah penyimpanannya dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya” terang Takmir.

Selain Inskripsi, bangunan masjid ini juga memiliki arsitektur yang menarik. Struktur bangunan masjid ini meliputi aula utama, serambi, aula jamaah perempuan berada di utara aula utama beserta tempat wudhu. Sedangkan tempat wudhu laki-laki berada di Selatan aula utama. Pada aula utama terdapat empat tiang yang berdiri kokoh menopang atap masjid. Apabila disamakan dengan arsitektur Jawa yakni empat soko guru (empat tiang) yang memiliki makna pajupat atau kiblat papat. Menurut Handhika Wirawan dan Syamsudin Raidi dalam Kajian Penerapan Konsep Arsitektur Tradisional Jawa Pada Bangunan Masjid, konsep empat soko ini mempunyai makna bahwa di setiap soko merepresentasikan arah mata angin yang kemudian perpotongan atau titik temu dari keempat arah mata angin tersebut merupakan tempat yang magis yang kemudian disebut pancer. Secara fungsi, empat tiang ini menjadi penopang utama atap masjid.

Bentuk atap pada masjid ini berbentuk seperti rumah joglo, dengan pemahaman orang jawa apabila rumah atau tempat tinggal yang memiliki atap berbentuk joglo berarti orang yang memiliki rumah tersebut adalah seorang bangsawan. Namun jika dilihat dari atas, atap joglo tersebut hanya pada bagian aula sholat. Sedangkan pada serambi masjid, atapnya berbentuk Limasan Pokok yang pada pemaknaan bangunan jawa bermakna rumah yang memiliki perekonomian sedang. Aula sholat Perempuan berbentuk Kampung Pokok yang bermakna atap rumah orang jawa yang yang memiliki perekonomian rendah. Berkaca pada pendapat Bintang Padu Prakoso dan Herman Wilianto dalam Penerapan konsep kejawen pada rumah tradisional Jawa, Tiga bentuk atap yang berbeda dan menjadi satu pada bangunan masjid Darul Muttaqin dapat diambil kesimpulan bahwa dalam Islam kita diajarkan kesetaraan yang tidak membeda-bedakan dari segi apapun karena dalam Islam yang membedakan derajat adalah ketaqwaan kepada Allah Swt.

Terdapatnya inskripsi masjid dan seni arsitektur masjid yang menyimpan makna memberikan artian bahwa yang mendirikan masjid ini bukan sembarang orang. Para masyarakat setempat percaya bahwa yang mendirikan masjid ini ada kaitannya dengan Tegalsari. “Masjid ini didirikan oleh santri dari Tegalsari” jelas Takmir. Masyarakat Santren mengenal santri Tegalsari tersebut dengan sebutan Kyai Nurkemat, beliau dimakamkan berada di sebelah barat masjid terletak di ujung makam. Makam beliau sudah dibangun cungkup yang yang dicat warna hijau, bertembok beton, dan dipoles sebagaimana makam pada zaman sekarang. Hal ini menjadikan orang yang pertama berziarah ke makam itu akan menganggap itu sebagai makam masyarakat umum.

Munculnya kepercayaan bahwa yang mendirikan masjid ini memiliki hubungan dengan Tegalsari karena tata letak masjid ini berada di sebelah barat Sungai Sekayu, tepatnya berada di desa Nambangrejo, Sukorejo, Ponorogo. Mengapa demikian, hal ini disebabkan berada di tepi sungai merupakan sebuah tata letak yang sangat strategis bagi sebuah pemukiman. Tata letak ini juga tergambar pada sebuah masjid yang berada di Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Masjid tersebut menjadi salah satu pusat peradaban dan keilmuan pada zaman itu. Hal ini juga menjadi penguat bahwa yang mendirikan masjid ini memiliki hubungan dengan Tegalsari.

Adanya Masjid Darul Muttaqien dapat memberi kita sedikit pemahaman bahwa di Ponorogo tidak sedikit tempat yang menjadi awal dari sebuah peradaban. Karena pada dasarnya, sebuah peradaban akan selalu mempunyai koneksi dengan peradaban lain. Baik dari segi keilmuan maupun kekeluargaan. Dan Masjid Darul Muttaqin menjadi salah satu tonggak dalam berkembangnya Islam di Ponorogo bagian barat.

Penulis: Ahmad Hasbi

Related

utama 5007675651357375870

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item