Kiai Abdul Qahhar Ngruweng, Klaten: Napak Tilas Guru Spiritual Kasunanan Surakarta
Foto: Nisan Kiai Abdul Qahhar. Dok. Arya Bagus Nur Paweling.Com - Kiai Abdul Qohhar adalah seorang ulama karismatik dari Dusun Ngruweng, Des...
![]() |
Foto: Nisan Kiai Abdul Qahhar. Dok. Arya Bagus Nur |
Paweling.Com- Kiai Abdul Qohhar adalah seorang ulama karismatik dari Dusun Ngruweng, Desa Wiro, Kecamatan Bayat, Klaten, yang juga dikenal sebagai guru spiritual Sunan Paku Buwono IX dari Keraton Kasunanan Surakarta. Beliau hidup pada abad ke-18 atau sezaman dengan Pakubuwono IV dan menjadi Guru Spiritual bagi Paku Buwono IX. Selain karena kedalaman ilmunya, beliau juga dikenal sebagai pribadi yang mempunyai keteguhan hati dalam membimbing umat. Sosok yang menjadi pilar spiritual masyarakat yang menebarkan nilai-nilai keislaman yang ramah, mendalam, dan membumi di Desa Ngruweng.
Secara demografi, makam Kiai Abdul Qohhar beralokasikan Desa Ngruweng, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten merupakan tokoh penyebar Agama Islam yang diutus oleh Kasunanan Surakarta pada Masa Paku Buwono IV berdasarkan Serat Sesingir karya PB IX. Sehingga di samping makam terdapat bangunan Masjid yang bernama Al-Qohhar sebagai penghormatan terhadap Kiai Abdul Qohhar. Beliau merupakan utusan dari Pakubuwono IV untuk menyebarkan agama Islam di Ngruweng, kemudian diangkat menjadi guru spiritual karena sosok piawai beliau yang dikagumi oleh Kasunanan.
Berdasarkan inskripsi yang terdapat pada nisan, nama beliau “Kyai Kanjeng Ngabdul Kahar”. Jika berdasarkan Serat Sesingir Karya Paku Buwono IX, “kasmarane ingsun eling, wuwulange guruningwang Ngabdul Kahhar wisma Ngruweng alim telaten yen memulang, kuwat umure dawa”… (aku ingat ajaran guruku Ngabdul Kahhar asal Ngruweng, alim telaten saat mengajar, kuat umurnya panjang).
Seperti yang diketahui, banyak narasi yang menjelaskan tentang sosok Kiai Abdul Qohhar dengan kiprah dan spirit menyebarkan agama di wilayah bayat pada waktu itu. Sehingga memunculkan beberapa narasi yang disampaikan secara lisan tidak disertai dengan sumber autentik layaknya catatan kisah yang ditulis semasa hidupnya Kiai Abdul Qohhar.
Ketika penulis bertemu dengan salah satu penduduk desa Ngruweng dia menyampaikan, bahwa setiap tahunnya terdapat perayaan haul yang dikhususkan kepada Kiai Abdul Qohhar dan dihadiri langsung oleh pihak Kasunanan Surakarta serta warga sekitar yang turut berpartisipasi dalam perayaan tersebut. Dalam haul tesebut ada beberapa rangkaian acara, salah satunya berupa kirab yang dilaksanakan setiap bulan Dzulhijjah dalam kalender hijriah.
“Konon katanya sesepuh desa, bahwa warga desa ngruweng ini kebanyakan masih ada garis keturunan dengan Kiai Abdul Qohhar. Maka, jikalau ada orang yang datang dengan niat baik di desa ini maka akan kembali menjadi kebaikan juga, sebaliknya jikalau terdapat niat buruk maka akan mengunduh keburukan juga” lanjut Asrifah Nur Khasanah.
Menariknya, di sekitar makam Kiai Abdul Qohhar terdapat banyak makam yang jirat di batu nisannya identik dengan masa Mataram Islam. Namun belum ada narasi atau naskah secara gamblang yang menjelaskan tokoh-tokoh yang dikuburkan di kompleks makam Kiai Abdul Qohhar. Mungkin hal ini akan menjadi daya tarik tersendiri dalam mengulas sejarah dan riwayat hidup Kiai Abdul Qohhar dengan peninggalan atau bukti yang menyertainya.
Dilansir dari berbagai sumber, diungkapkan bahwa Kiai Abdul Qohhar masih memiliki garis keturunan dari Sunan Pandanaran. Hanya saja penguat dari narasi tersebut belum disertakan oleh banyak peneliti maupun penulis sehingga kurang memiliki landasan narasi yang lebih kuat. Sebab dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah, Kuntowijoyo menegaskan bahwa untuk memverifikasi sumber dalam penulisan sejarah mempunyai beberapa tahap yang didukung oleh sumber primer berupa arsip, artefak, ataupun catatan peninggalan yang sezaman. Sehingga dalam konteks ini terkait garis keturunan perlu ditelisik lebih mendalam.
Tapak Tilas Kiai Abdul Qahhar
Ketika penulis selesai berziarah, tidak jauh dari makam Kiai Abdul Qohhar terdapat sendang dan batu tilas untuk sholat yang konon merupakan peninggalan dari Kiai Abdul Qohhar, Berdasarkan wawancara dengan salah satu narasumber yang merupakan tokoh sesepuh desa “Mbah Abdul Qohhar diparingi bumi ingkang paring asma ngruweng amargi sami kalih daerah asal garwonipun saking Ponorogo, tanah sing ana sumbere (air) naming bumi cengkar” Ujar Pawiro Sentono.
Foto: Batu alas salat Kiai Abdul Qahhar. Dok. Arya Bagus Nur A |
Sendang peninggalan Kiai Abdul Qahhar. Dok. Arya Bagus Nur A |
Refleksi Sosok Kiai Abdul Qahhar
Pawiro Sentono menyampaikan bahwa Kiai Abdul Qohhar merupakan pribadi yang alim, ahli sedekah, dan suka menolong. Dalam petuah nasihat yang dilontarkan oleh beliau dalam mengimplementasikan jejak dari Kiai Abdul Qohhar yakni, “Sapa sika rep miliki hasile, mboten pareng berharap hasile” jika dimaknai adalah untuk menggapai sesuatu harus menyediakan ruang ikhlas dalam hati kita.
Sebagai utusan Kasunanan yang diamanahi tugas mulia untuk menyebarkan cahaya Islam di tanah Bayat, Kiai Abdul Qohhar menanamkan nilai, menumbuhkan iman, dan membangun peradaban. Tugas dakwah yang diembannya dijalankan dengan penuh keikhlasan dan kebijaksanaan, hingga jejaknya tak hanya menoreh sejarah, tetapi mengakar dalam hati masyarakat.
Tidak heran jika setiap tahun, diselenggarakannya haul Kiai Abdul Qahhar sebagai bentuk penghormatan, sekaligus sebagai momentum refleksi bagi para santri, keluarga, dan masyarakat luas. Haul ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan ruang spiritual yang mempertemukan ingatan kolektif dan semangat pelestarian tradisi. Dalam setiap untaian doa dan lantunan ayat, kita merasakan kembali getar ketulusan perjuangan beliau dalam mendidik dan membimbing umat, terutama dalam masa-masa sulit.
Melalui haul tahunan, warisan beliau terus dihidupkan. Para santri, warga desa dan generasi muda diajak untuk tidak hanya mengenang, tetapi juga melanjutkan perjuangan beliau dengan cara yang relevan di zaman sekarang. Haul menjadi wahana edukatif dan spiritual yang menyatukan lintas generasi dalam satu ikatan cinta kepada ulama dan tradisi keilmuan Islam.
Di tengah tantangan zaman, napak tilas beliau tetap teguh dalam menyalakan obor Islamisasi tanpa gemuruh, namun penuh pengaruh. Dakwahnya menyentuh, ajarannya menyejukkan, dan keteladanan hidupnya menjadikan beliau bukan sekadar tokoh masa lalu, tapi pilar yang dikenang hingga hari ini.
Sehingga namanya tetap harum di lisan-lisan yang bersyukur, dikenang dalam doa, diteladani dalam laku. Karena sejatinya, seorang pejuang tak pernah benar-benar pergi. Ia hidup dalam semangat yang diwariskan, dalam nilai-nilai yang dijaga, dalam kebaikan yang terus mengalir.
Penulis: Arya Bagus Nur A