Mitos, Logos, dan Neraca Pertimbangan di Kedua Ruhnya
The Persistence of Memory (1931), Salvador Dali Paweling.Com- Artikel ini dibuat tepat sehari setelah Yohan Fikri menyelesaikan esainya den...
http://www.paweling.com/2024/04/mitos-logos-dan-neraca-pertimbangan-di.html?m=0
Paweling.Com- Artikel ini dibuat tepat sehari setelah Yohan Fikri menyelesaikan esainya dengan tajuk “Dering dari Telepon Mbah Benu” yang dipublikasi oleh Paweling.com pada 8 April 2024. Artikel ini, secara khusus adalah sebuah respon terhadap apa yang disampaikan oleh Gus Yohan (yang nanti demi meringkas penyebutan, kita sebut Yohan saja) dalam esai terakhirnya tersebut, dan secara umum, saya tujukan sebagai respon atas pandangan saya terhadap banyak tulisan Yohan akhir-akhir ini—yang dalam pembacaan saya, memiliki banyak kesamaan warna terhadap esai terakhirnya itu sendiri.
Apa yang berusaha disuguhkan Yohan dalam esainya memanglah sebuah pemahaman canggih terhadap apa yang seharusnya kita amati terhadap kodrat antara logos dan mitos. Cara pandangnya tentang mitos, memiliki nilai tersendiri yang memisahkannya dengan banyak cara pandang masyarakat modern, bahkan sekalipun masyarakat urban.
Yohan berusaha menjelaskan bahwa kedudukan mitos, yang hari ini kerap mendapat pandangan peyoratif sebagai suatu hal yang jauh dari khazanah perdaban modern adalah sebuah kesalahan besar. Terlebih, jika anggapan tersebut lahir dari rahim masyarakat religi, yang kita tahu, notabenenya dalam banyak perjalanan sejarah terbentuknya konstruksi dan sistem komologi religi, mitos kerap kali hadir sebagai simbol atas segala keajaiban yang turut mewarnai tubuh sejarah suatu sistem religi itu sendiri. Unsur mitos, dalam hal ini, kiranya tidak kita pahami seperti banyak masyarakat urban mereduksi istilah tersebut menjadi sebuah istilah dari pemahaman yang tidak berperadapan. Tetapi, mitos, kiranya dalam dalam konteks ini dapat kita pahami bersama sebagai sebuah istilah yang telah menerima proses ameliorasi—yang secara bersamaan, menujukkan bahwa akan selalu ada ruang supradefinitif dari apa yang bisa dijangkau dengan logos.
Pada dasarnya, pandangan itu menjadi mungkin, bahkan jika memang harus digantungkan sejajar dengan apa yang sering disebut sebagai tonggak peradaban: pilar keilmiahan. Alam, dapat kita ibaratkan sebagai goa misteri yang tak terbendung kerahasiaannya. Sekalipun sejauh apa pun manusia berusaha menjamah kegelapan dalam goa itu dengan lampu-lampu sains, juga dengan berjuta-juta peta metodologis. Misteri gelap dalam goa tersebut akan senantiasa tetap hadir dan terasa melambung semakin jauh menghindari jamahan kita, ya, benar, misteri dalam kegelapan itu seakan selalu menjauhi dari segala proses pencarian dan iktikad penerangan yang dilakukan manusia dengan segala kemegahan akal yang mereka kerap banggakan.
Barangkali inilah yang dirasakan Niels Bohr di Konverensi Solvay, di Brussels, 1927, ketika kemampuan logisnya harus takluk dalam penelitiannya yang berjuang keras harus mengamati: membedah dan memahami pola perilaku foton (photon)—partikel sekaligus gelombang cahaya— bersama Einstein, yang singkat cerita dalam penelitian itu, kedua ilmuwan terkemuka tersebut harus sujud dalam lobang kemisteriusan alam. Einstein memang tidak terlalu suka atas kegagalan ini, terlebih ia sangat mengadopsi semangat Descartes, bahwa segala hal di dunia materil, seharusnya bisa teramati dalam determenensi hitungan dan pengamatan. Setidaknya, bagi Einstein, Tuhan tidak mungkin menciptakan dunia seisinya selayaknya manusia melempar bebas dua kotak dadu. Tapi itulah kenyataannya, pada dasarnya semua hal tidak akan bisa kita artikan secara utuh dengan bahasa keilmuan manusia. Hari itu, segala kegagahan mereka dalam sejarah fisika, sekejap diluluhlantahkan oleh tingkah laku butiran partikel kecil yang kita kenal dapat menerangi jagat raya.
Cerita dan pengakuan atas kegagalan sains dalam menguak misteri dari jiwa di setiap unsur realitas dengan metodologi empirik, tak hanya menjangkit dua orang itu saja. Sekaliber tokoh-tokoh saintis terkemuka lain yang memiliki nalar kelogisan tinggi, pun harus turut bersaksi atas keanehan dunia yang mereka pijak dan huni bersama ini. Sebut saja Feynman, yang mengaku terombang-ambing setelah ia berusaha mendalami samudera kuantum, Schrodinger yang terkoyak nalarnya setelah menemukan kemungkinan superposisi bersama seekor kucing yang harus ia semedikan dalam sekotak kardus, atau bahkan Si Pembunuh Tuhan: Hawking, yang gagal menemukan Theory of Everything hingga akhir hayatnya, dan masih banyak lagi pengakuan lainnya (Michio Kaku, Jim al-Khalili, dsb).
Menariknya, hampir segala hal yang membuat banyak ilmuwan tersebut putus asa, tak lain berasal dari pengajian mereka terhadap realitas dalam skala sub-atom, usaha menembus dalam alam quark, organ atom itu sendiri. Ini, dapat kita artikan, bahwa justru letak paling aneh dalam sebuah realitas di sekitar kita, adalah komponen dari unsur penyusun sebuah realitas itu sendiri. Komponen fisik yang seperti memiliki ‘kesadaran’, yang seperti alam gaib yang tak pernah nyata kita temukan. Mereka ada—dan selalu hinggap di seluruh tubuh kita.
Tentu, kita memahami kegagalan bukan berarti sebuah kurungan yang mengutuk laju peradaban dalam penjara kemustahilan. Perkembangan pengetahuan dan usaha menyibak rahasia alam akan terus diupayakan. Tapi yang perlu dicatat, bahwa bahkan dalam banyak hati kecil saintis itu, mereka mengamini bahwa alam sesungguhnya adalah suatu hal yang jauh dari kata materil yang dapat mudah teramati. Mulai dari objek skala agung kosmologi dalam astronomi, sampai skala Planck yang membunuh nalar setiap peneliti. Problem ini, sampai-sampai membuat Bohr pernah berkata, “Semua yang kita sebut nyata, berasal dari sesuatu yang tidak nyata”.
Ungkapan Bohr tersebut, agaknya tidak kita anggap sebagai konklusi dari semua proses pencarian ini. Bohr, hanya kurang-lebih mengungkapkan hal itu sebagai bentuk ungkapan yang mewakili kepercayaannya, bahwa kita seakan mustahil benar-benar mengetahui segala isi alam. Atau bahkan, hanya sedikit isi alam.
Hingga pada dasarnya, manusia tidak akan pernah menyentuh esensi dari ‘sesuatu’ apapun. Manusia tidak akan benar-benar dapat menyentuh segala hal yang ‘ada’. Baik dalam kedalaman epistemologis, maupun sekedar meraba di permukaan ontologis. Paradoks antara menyentuh-disentuh-tersentuh akan selalu ada dalam eksistensi sebuah realitas. Bahkan, sedikit catatan tambahan: apakah anda tahu, jika sebenarnya kita tidak pernah benar-benar menyentuh benda solid sekalipun secara fisik. Apa yang kita anggap ‘sentuhan’ selama ini hanyalah bentuk manifestasi dari medan elektromagnetik yang dihasilkan dari satu elektron dengan elektron lain (dalam diri kita dengan objek yang ‘merasa’ kita sentuh) di masing-masing kulit atom, yang karena mereka merupakan dua partikel bermuatan sama, keduanya menciptakan medan tolak-menolak, yang kemudian dapat kita terjemahkan sebagai ‘sentuhan’. Penjelasan yang sama mengenai apa itu ‘sentuhan’, kiranya dapat juga ditemukan dalam buku kecil karya R.H. Authonulmuter: Akhir Sentuhan. Namun di buku tersebut kita tidak diberi pisau bedah secara saintis, ada pisau bedah lain di sana, pisau bedah filosofis.
***
Gagasan dan pemikiran semacam apa yang disampaikan Yohan dalam esainya demi menyikapi polemik sosial dari kasus Mbah Benu di akhir Ramadan itu, memanglah patut kita sebarkan sebagai bentuk pengakuan, bahwa kedudukan mitos tidak jauh lebih rendah ketimbang logos, seperti pandangan banyak masyarakat modern yang kurang tepat dalam topik ini. Namun, kendati demikian (merujuk tema yang diangkat dalam Dering dari Telepon Mbah Benu ), saya rasa banyak memiliki kesamaan spirit dengan banyak narasi yang dibuat oleh Yohan di tulisan-tulisannya yang ia sebarkan akhir-akhir ini (baik melalui status dari media sosial pribadinya atau banyak dari tulisan panjangnya yang berceceran di banyak tempat pula).
Kesamaan spirit itu, agaknya saling mengerucut pada kritik atas demitologisasi, dan dilakukan secara repetitif dalam jangka waktu yang tidak panjang. Tentu tidak ada yang salah akan hal itu. Tapi kiranya dapat kita pertimbangkan lagi, terlalu mengupayakan pemahaman tentang sebuah kritik atas demitologisasi di masyarakat yang masih menjunjung tinggi mitos atas segala alasan realaitas (atas segala kemalasan yang ada), agaknya tindakan semacam itu tidak cukup relevan. Masyarakat kita (setidaknya untuk saat ini), alangkah baiknya lebih banyak menerima suplai literatur yang membawa diskursus demitologisasi (meruntuhkan mitos sebagai pusat acuan berpikir) dan memupuk lagi pola berpikir empirik terlebih dahulu.
Sebab, besar kemungkinan, masyarakat dengan budaya pemikiran yang masih cukup perlu banyak perbaikan, jika kemudian dihadapkan dengan banyak literatur yang kembali menjunjung tinggi derajat mitos secara repetitif, akan meniscayakan perangsangan pola pikir dari masyarakat itu sendiri ke arah yang tidak lebih baik. Alih-alih dapat mentoleransi eksistensi mitos atas segala keajaibannya, yang sejatinya selalu hadir dan lolos dalam perangkap logos—lalu meletakkan keduanya dalam kedudukan yang sejajar—masyarakat yang dapat dikatakan ‘belum siap menerima hal itu’ malahan sangat berpotensi untuk kembali memitologisasi segala yang berkaitan dengan realitas (sekali lagi, hal ini berlandaskan atas rasa malas mereka untuk berusaha berpikir kritis).
Muhammad Saw. pun pernah menyikapi masalah yang serupa. Ketika putra Beliau, Sayid Ibrahim pulang ke haribaan Allah Swt., bersamaan dengan itu, terjadilah gerhana. Sontak, seluruh umat yang mengikuti beliau pun mengira, bahwa gerhana itu muncul atas kemukjizatan Sang Mulia Muhammad, ada sebagian lain yang mengatakan ini adalah simbol kesedihan alam atas kematian putra tercinta beliau. Tetapi apa reaksi beliau setelah menengar respon umat (yang mengaguminya), alih-alih mengatakan “Ya, ini adalah bukti mukjizatku atau gerhana itu tercipta atas kepulangan putraku” agar umat tersebut semakin fanatik dan sekaligus dapat melanggengkan kursi kuasa Beliau di hadapan umat itu, yang Beliau beritahukan kepada umatnya tersebut adalah sebuah pengetahuan bahwa terjadinya gerhana saat itu bukanlah simbol atas kesedihan dirinya (baik berupa mukjizat dan lain sebagainya) atau kejadian yang dilandasi dari kematian putranya, melainkan sebuah instruksi bahwa fenomena alam tersebut adalah tanda kekuasaan Tuhan, kalian harus membacanya, dan kalian harus seantiasa beribadah kepada-Nya.
Alhasil, singkat kata, usaha untuk menyebarkan wacana atau ruang literat mengenai kritik demitologisasi di level masyarakat (pembaca ) yang belum mapan secara intelektual secara repetitif, akan membuka kemungkinan untuk menempatkan kedudukan mitos, tidaklah menjadi suatu hal yang dapat terbang dengan marwah. Sebaliknya, mitos, hanya akan dijadikan pijakan atau keset untuk mengelap segala kerumitan realitas yang harus direnungkan. Asumsi ini diperkuat, dengan data World Popuaion Review, yang menunjukkan bahwa IQ masyarakat kita hanya berkisar di angka 78,49. Jelas, angka ini tak lebih tinggi dari angka hasil tes IQ seekor gorila dalam banyak jurnal penelitian. Apalagi lumba-lumba.
Sekian, terima kasih.
Sidoarjo, 9 April 2024.
Penulis: Arif Rahman