Menulis Sejarah Pesantren Melalui Artefaknya: Benarkah Pesantren Tegalsari Didirikan pada Tahun 1742?
Potret para santri Pesantren Tegalsari Pada Tahun 1928. Sumber: C. K. Elout (Bagian pertama dari dua bagian) Paweling.Com- Di antara pesant...
![]() |
Potret para santri Pesantren Tegalsari Pada Tahun 1928. Sumber: C. K. Elout |
(Bagian pertama dari dua bagian)
Paweling.Com- Di antara pesantren lainnya, penulisan sejarah Pesantren Tegalsari mungkin termasuk paling populer di masyarakat. Publikasinya sangat mudah ditemukan di dunia maya, baik berbentuk artikel ilmiah, tugas akhir, maupun unggahan singkat di media sosial. Namun, jika dibaca dengan cermat, narasi yang dihadirkan oleh banyak tulisan itu masih terkesan berulang dan minim kebaruan.
Kita ambil contoh beberapa hal yang hampir selalu hadir dalam tulisan-tulisan tersebut, seperti ungkapan tahun 1742 sebagai waktu berdirinya pesantren, serta nama-nama tokoh–Pakubuwono II, Diponegoro, Ronggowarsito, dan Cokroaminoto–yang dipercaya secara luas sebagai jebolan pesantren itu. Apakah sudah tepat penyebutan tahun tersebut? Apakah benar para tokoh tersebut pernah benar-benar nyantri di Tegalsari?
Pertanyaan tersebut sebenarnya dapat menjadi pemantik untuk melihat kembali sejarah Tegalsari yang selama ini dianggap “final”. Pada bagian tertentu,ungkapan yang sering dicantumkan dalam tulisan itu masih dapat diterima, khususnya hal-hal yang sangat terbatas data sejarahnya, dan itu cukup digunakan sebagai gambaran sekilas, bukan sebagai pokok pembicaraan dalam tulisan.
Namun, terbatasnya data sejarah sebenarnya belum tentu tidak ada sama sekali karena data itu kadang luput dari referensi sehingga diperlukan upaya pencarian dan penggalian data secara cermat. Kita juga harus berpikir bahwa keengganan peneliti sejarah untuk mengambil celah atau menghadirkan kebaruan dari tulisan sebelumnya akan berdampak pada historiografi yang dihasilkan akan sekadar glorifikasi masa lalu, ketiadaan sikap kritis dan kurangnya kedalaman, serta kemandekan wacana yang dapat memunculkan anggapan bahwa sejarah telah “selesai” ditulis dan menutup jalan terhadap kajian berikutnya.
Melihat masalah tersebut, tulisan singkat ini berupaya mengajak pembaca atau peneliti sejarah, khususnya sejarah Islam lokal, untuk membaca kembali sejarah yang telah ditulis dan menggali data sejarah yang selama ini luput dari kajian-kajian terdahulu. Pesantren Tegalsari sengaja dijadikan contoh di sini sebab seperti yang telah disebutkan bahwa masih banyak peneliti sejarah pesantren ini hanya sekadar mengulang narasi.
Untuk upaya tersebut, tulisan ini mencoba melihat kembali terkait tahun berdirinya Pesantren Tegalsari dan narasi tentang Pesantren Setono. Masing-masing akan menjadi tulisan tersendiri agar tidak bertele-tele dan mudah dipahami. Kedua tulisan akan didasarkan pada inskripsi yang belum banyak dikaji.
Berkaitan dengan tahun berdirinya Pesantren Tegalsari, banyak tulisan mencantumkan tahun 1742 masehi. Namun, penyebutan itu kebanyakan tidak merujuk pada tulisan tertentu, padahal angka tahun merupakan sesuatu yang krusial dalam penulisan sejarah. Meskipun begitu, kita dapat merunut dari artikel lama yang membahas tentang Tegalsari, misalnya artikel Fokko Fokkens, seorang kontrolir muda, yang dipublikasikan tahun 1877.
Dalam artikel itu, tahun 1742 disebut sebagai waktu terjadinya Geger Pecinan yang menyebabkan Pakubuwono II melarikan diri ke daerah-daerah timur Gunung Lawu. Salah satu tempat yang disinggahinya adalah Tegalsari, tempat ia memohon doa kepada Kiai Ageng Muhammad Besari agar dapat menduduki posisinya kembali.
Dari situ, tampaknya beberapa peneliti berikutnya mengambil tahun tersebut sebagai pijakan pendirian pesantren. Ketiadaan dokumen yang secara eksplisit menyebutkan tahun pendirian Tegalsari menjadi penyebabnya. Meskipun ada peneliti yang mencoba menawarkan lain terkait pendirian pesantren, tahun tersebut masih lebih populer digunakan hingga sekarang.
Pada tahun 1985, Claude Guillot, seorang sarjana berkebangsaan Perancis, menerbitkan artikel tentang desa perdikan Tegalsari. Dalam tulisannya itu, ia mencantumkan inskripsi pada mimbar Masjid Tegalsari. Ia berhasil membaca separuhnya hingga sebuah angka tahun, yaitu tahun 1188 Hijriah atau 1774 Masehi. Inskripsi tersebut merupakan penanda pembuatan mimbar di Masjid Tegalsari.
Guillot juga menghubungkan pembacaan angka tahun tersebut dengan tradisi lisan yang menceritakan bahwa pasca wafatnya Kiai Ageng, putranya yang bernama Kiai Ishaq memboyong bangunan masjid lama ke Desa Coper. Lalu, saudaranya, Kiai Ilyas, yang ditunjuk oleh Nyai Ageng untuk menggantikan kepemimpinan pesantren membangun kembali masjid yang tentu bersama mimbarnya. Oleh karenanya, Guillot menafsirkan meninggalkan Kiai Ageng terjadi pada tahun 1773 atau setahun sebelum mimbar dibuat.
![]() |
Inskripsi di mimbar Masjid Tegalsari. Sumber: Munir |
“Kala damel ing wulan Ramadan ing tahun Alif (Ehe) antara 1118 saking hijrah lan antara 40 warsa saking bakale Tegalsari kala jamane Kyai Ageng ingkang yasa”.
Dari hasil pembacaan di atas, tampak bahwa inskripsi secara eksplisit menjadi penanda pembuatan mimbar dan secara implisit pembuatan tersebut terjadi 40 tahun pascaberdirinya Tegalsari atau sekitar tahun 1188 Hijriah (1735 –1736 Masehi). Sayangnya, di situ hari dan bulannya tidak disebutkan. Meskipun demikian, cukup kiranya hal itu menjadi bukti bahwa tahun berdirinya Tegalsari lebih tua daripada tahun yang selama ini sering ditulis.
Bahkan, jika dikaitkan dengan cerita kedatangan Pakubuwono II ke Tegalsari, tahun 1735/1736 lebih dapat diterima. Sebab ketokohan Kiai Ageng telah dikenal luas oleh masyarakat yang mendorong Pakubuwono II datang kepadanya. Bukan sebaliknya, Tegalsari ada karena kedatangan Pakubuwono II, meskipun memang setelahnya Tegalsari mendapat status desa perdikan yang berdampak makin dikenalnya Tegalsari oleh masyarakat luas.
Pada akhirnya, kita dapat belajar bahwa inskripsi yang sering diabaikan dalam beberapa kajian sejarah sebelumnya ternyata menyimpan informasi yang penting. Meskipun demikian, hasil pembacaan inskripsi tersebut masih terbuka lebar untuk dikritisi ataupun dilengkapi sehingga bukan merupakan suatu hasil penulisan sejarah yang final. Lalu, bagaimana dengan narasi Pesantren Setono? Kita akan bahas pada tulisan berikutnya.
Penulis: Fuad Faizin