Sekilas Tentang Negara-Bangsa dalam Pandangan Nurcholish Madjid
Sumber: Merdeka.com Paweling.Com -Sebelum memasuki pembahasan, izinkan saya memberikan sedikit penjelasan tentang makna “Negara-Bangsa”. Dal...
![]() |
Sumber: Merdeka.com |
Mengutip dari bukunya Cak Nur tentang “Negara-Bangsa” dalam mengartikan kata “bangsa”, Cak Nur memaknai seperti “United Nations”, “Persatuan Bangsa-Bangsa” atau dalam bahasa arabnya “al-Umam al-Muttahidah”, “Umat-umat bersatu”. Jadi “Negara-Bangsa” adalah negara untuk seluruh umat, yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan tersebut. Dari pengertian ini “Negara-Bangsa” memiliki tujuan mewujudkan kemaslahatan umum, maka dari itu tidak hanya seorang tokoh kuat yang mendominasi akan tetapi juga dapat mempertimbangkan setiap kemaslahatan umum yang ada dan pastinya dapat menyeimbangkan semua kemaslahatan yang ada.
Makna kontrak sosial pada penjelesan di atas tidak diartikan seperti pada sebuah kontrak pekerjaan. Penerapan kontrak pekerjaan tersebut terjadi interaksi antara pemimpin perusahaan dan para pekerjanya. Dalam perusahaan tersebut yang paling besar pengaruhnya pastilah pemimpin dari perusahaan tersebut, sehingga kurang tepat jika kontrak sosial dimaknai demikian. Saya pribadi memaknai kontrak sosial tersebut dengan sebuah interaksi sosial seperti sebuah desa. Jika dalam desa tersebut terdapat sebuah masalah yang menyangkut kemaslahatan umum, maka penyelesaian tersebut tidak tepaku pada keputusan kepala desa, melainkan harus berdasarkan keputusan yang telah dimusyawarahkan dan disetujui oleh masyarakat.
Penggambaran lain tentang kontrak sosial ini dapat diteladani dari peristiwa perjanjian Aqobah. Nabi SAW. menerapkan kontrak sosial melalui sebuah perjanjian. Cak Nur, dalam bukunya, juga memberikan penjelasan tentang kota Madinah yang dibangun Nabi SAW. berdasarkan pengertian “Negara-Bangsa”, yaitu negara untuk seluruh umat atau warga negara, demi kemaslahatan bersama. Dalam pembangunan tersebut Nabi SAW. juga mengajarkan taat pada aturan yang diajarkan oleh Tuhan, karena salah satu ajaran Tuhan adalah untuk patuh pada kesepakatan yang telah dibuat bersama-sama.
Untuk mewujudkan kemaslahatan umum dalam sebuah “Negara-Bangsa” tentunya tidak hanya melibatkan satu atau dua pihak saja. Jika dilihat dari istilahnya saja sudah memberikan makna yang majemuk yang pastinya kemajemukan ini terdapat banyak sekali perbedaan. Perbedaan inilah yang harus dikuatkan agar dapat menjadi sebuah kesatuan yang utuh. Berangkat dari bangsa yang satu ini nanti akan berpengaruh terhadap “Negara-Bangsa” yang besar, karena kesatuan ini nantinya akan menimbulkan sifat toleransi atau menghargai terhadap perbedaan tadi. Mungkin tidak hanya toleran yang tercipta dari kesatuan tersebut, bisa jadi timbul sifat baik lainnya yang bisa diterima oleh perbedaan tersebut.
Pemerintahan yang adil adalah salah satu yang harus ada pada “Negara-Bangsa”. Saya tidak merasa lelah mengutip dari buku karya Nurcholish Madjid ini. Mungkin para pembaca lebih akrab dengan sebutan Cak Nur, dalam bukunya dikatakan adanya pembedaan dan pemisahan yang tegas antara kekayaan pribadi dan kekayaan milik umum, dan untuk mendukung prinsip itu warga harus patuh pada negara hukum, bukan kepada penguasa. Dari pembacaan yang sederhana, saya mendapat sebuah kepahaman terhadap sikap pemerintah dan juga warga negaranya. Sebagai pemerintah haruslah adil dalam menjalankan pola pemerintahannya, tidak boleh mencampurk-adukkan antara urusan pribadi dengan urusan umum, terlebih lagi harus mengesampingkan urusan pribadi untuk mewujudkan urusan umum. Sedangkan sebagai warga, harus bisa membedakan keputusan yang dibuat oleh pemerintah tersebut apakah keputusan demi kemaslahatan umum atau sebaliknya, karena “Negara-Bangsa” adalah negara hukum, bukan sebuah negara negara kekuasaan seperti sistem Fir'aun.
Konsep “Negara-Bangsa” erat kaitannya dengan paham kebangsaan atau nasionalisme. Nasionalisme di sini tidak dalam artian yang sempit, yang maknanya bukan sekadar tentang paham kekuasaan, kekabilahan, maupun etno-nasionalisme. Contoh yang bermakna sempit ini adalah Chauvinisme, berbeda dengan kebangsaan sejati yang pemaknaannya bisa lebih luas. Nasionalisme sejati atau kebangsaan sejati adalah sebuah paham yang memperhatikan kepentingan seluruh warga negara tanpa terkecuali. Praktik dari kebangsaan sejati ini adalah adanya keterbukaan bagi partisipasi seluruh anggota masyarakat dan karena adanya kesediaan para pemimpin menerima penilaian berdasarkan partisipasi anggota masyarakat tadi. Pemahaman ini disampaikan oleh Robert N. Bellah yang dikutip Cak Nur dalam bukunya yang mengenalkan istilah nasionalisme modern.
Cak Nur juga memberikan gambaran tentang paham ini, gambaran tersebut adalah ketika pengangkatan Khalifah pengganti Nabi SAW. yang sama-sama berdasarkan penilaian keseluruhan masyarakat pada masa itu. Paham ini penting adanya, karena menyangkut tentang pembatasan harta pribadi dan harta umum dan seorang pemimpin harus bisa bersikap adil ketika menangani hal tersebut. Jika di antara keduanya terdapat sebuah kekacauan maka akan merobohkan sistem hukum dan keadilan. Terlebih lagi jika terwujud sebuah praktik korupsi dan perbuatan buruk lainnya, sehingga akan mustahil mewujudkan kesejahteraan umum atau kebangsaan sejati.
Permasalahan ini juga tercermin pada pemerintahan Bani Umayyah yang dalam pemilihan seorang khalifah atau pemimpin berdasarkan legitimisasi genealogis atau hubungan darah. Tentu hal ini akan merusak paham kebangsaan sejati yang menutup kontrak sosial dan menjadikannya hanya berdasarkan satu keputusan yang menitik beratkan pada persetujuan sebuah keluarga. Maka sejak saat itu dunia Islam mengenal prinsip organisasi kemasyarakatan dan kenegaraan atas dasar legitimisasi genealogis dan hubungan darah atau yang biasa disebut dengan nasab.
Penulis: Ahmad Hasbi